BurhaniKarya Kiai Muslih Nama : Achmad Rohmatullah NIM : 123111041 Jurusan : PAI Program Studi : S1 Motivatorku (Habib Ali bin Abdurrahman Al-Jufri, Habib Hasan bin Abdrurrahman Al-Jufri, Habib Ghozi bin Ahmad bin Syihab, Muhammad, Fatimah, Bapak Amin Farih, Bapak Ahwan Fanani, 5 Marzuki, Pendidikan Karekter Islam, (Jakarta: Amzah
Daftar Isi Profil Guru Marzuki bin Mirshod Kelahiran Wafat Pendidikan Guru-Guru Murid-Murid Pendiri Nahdlatul Ulama NU di Betawi Karya-Karya Kelahiran As-syekh Ahmad Marzuqi bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Khotib Saâad bin Abdurrohman bin Sulthon atau yang kerap disapa akrab dengan Guru Marzuki bin Mirshod lahir pada malam Ahad waktu Isya tanggal 16 Romadhon 1293 H di Rawabangke Rawa Bunga Jatinegara Batavia Jakarta Timur. Beliau merupakan putra salah seorang khotib di masjidf Al-Jamiâul Anwar Rawabangke Rawa Bunga Jatinegara Jakarta Timur Ahmad Mirshod dengan Hj. Fathimah binti KH. Syihabuddin Maghrobi Al-Madura, berasal dari Madura dari keturunan Ishaq yang makamnya di kota Gresik Jawa Timur. Pada usia 9 tahun ayahanda berpulang ke Rohmatulloh dan diasuh oleh ibunda tercinta yang sholehah dan taqwa dalam suatu kehidupan rumah tangga yang sangat sederhana. Wafat Guru Marzuki bin Mirshod wafat pada pagi hari jumâat 25 Rajab 1352 H, jam WIB. Jenazah beliau disalatkan dan di imami oleh Habib Ali bin Abdurrohman Al-Habsyi Habib Ali Kwitang. Kemudian dikebumikan sesudah Salat Asar yang dihadiri oleh para ulama dan ribuan orang. Pendidikan Guru Marzuki kecil, beliau memulai pendidikannya dengan belajar kepada KH. Anwar. Beliau belajar al-Qurâan dan berbagai disiplin ilmu agama Islam lainnya. Ketika usianya menginjak 16 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya untuk belajar kepada Habib Utsman bin Muhammad Banahsan. Saat berguru kepada Habib Utsman, sang Habib melihat kegeniusannya serta ingatan yang tajam dalam menghafal, yang dimiliki oleh Guru Marzuki bin Mirshod, sehingga membuat sang Habib ingin mengarahkan Guru Marzuki untuk melanjutkan pendidikanya di Mekkah dan dapat belajar kepada para ulama besar di Mekkah. Setelah 7 tahun beliau belajar di Mekkah, kemudian datang sepucuk surat dari Habib Utsman yang meminta agar Guru Marzuki bin Mirshod dapat kembali ke Jakarta, maka pada tahun 1332 H atas pertimbangan dan persetujuan guru-gurunya di Mekkah beliau kembali pulang ke Jakarta, dengan tugas menggantikan Habib Utsman dalam memberikan pendidikan dan pengajaran kepada murid-muridnya. Guru-Guru Guru-guru Guru Marzuki bin Mirshod diantaranya adalah As-Syaikh Usman Serawak As-Syaikh Muhammad Ali Al-Maliki As-Syaikh Muhammad Amin Sayid Ahmad Ridwan As-Syaikh Hasbulloh Al-Mishro As-Syaikh Umar Sumbawa As-Syaikh Muhammad Umar Syatho As-Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan Mufti Makkah Murid-Murid Murid-murid yang didiknya kemudian banyak yang menjadi ulama Betawi terkemuka. Dalam sebuah catatan menyebutkan ada sekitar 41 ulama Betawi terkemuka bahkan lebih. Di antaranya adalah Mu`allim Thabrani Paseban kakek dari KH. Maulana Kamal Yusuf KH. Abdullah Syafi`i pendiri perguruan Asy-Syafiâiyyah KH. Thohir Rohili pendiri perguruan Ath-Thahiriyyah KH. Noer Alie pahlawan nasional, pendiri perguruan At-Taqwa, Bekasi KH. Achmad Mursyidi pendiri perguruan Al-Falah KH. Hasbiyallah pendiri perguruan Al-Wathoniyah KH. Ahmad Zayadi Muhajir pendiri perguruan Az-Ziyadah Guru Asmat Cakung KH. Mahmud pendiri Yayasan Perguruan Islam Almamur/Yapima, Bekasi KH. Muchtar Thabrani pendiri YPI Annuur, Bekasi KH. Chalid Damat pendiri perguruan Al-Khalidiyah KH. Ali Syibromalisi pendiri perguruan Darussaâadah dan mantan ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan, Jakarta. Pendiri Nahdlatul Ulama NU di Betawi Berdirinya organisasi Islam Nahdlatul Ulama NU di tanah Betawi memiliki kisah yang unik. Kisah tersebut diceritakan dari KH. Saifuddin Amsir bahwa ketika Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara diminta untuk mendirikan NU di Jakarta di tanah Betawi, beliau tidak langsung menerima permintaan tersebut, akan tetapi ada satu syarat yang harus di penuhi. Guru Marzuki bin Mirshod memberikan syarat, jika para santri perempuan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, yang dipimpin Hadhratussyaikh KH. Hasyim Asy`ari tidak menutup auratnya secara benar, sesuai syariat, ia menolak pendirian dan kehadiran NU di tanah Betawi. Ia kemudian mengutus orang kepercayaannya ke Tebuireng untuk melihatnya secara langsung. Dari hasil pengamatan orang kepercayaannya ini ia mendapatkan informasi bahwa para perempuan dan santri perempuan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, menutup auratnya dengan benar, sesuai syariat. Atas informasi ini, Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara menerima pendirian NU di tanah Betawi dan ia menjadi pendiri dari NU Jakarta. Permintaan pendirian NU kepada Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara di tanah Betawi langsung dari Hadhratussyaikh KH. Hasyim Asy`ari. Permintaan kepadanya tentu tidak sembarangan, mempertimbangkan juga pengaruh dan ketokohannya sebagai salah seorang ulama terkemuka di Betawi pada masa itu. Karya-Karya Adapun kitab-kitab yang dikarangnya ada 13 buah, yang dapat dilihat sekarang hanya 8 buah. Kitab-kitab tersebut diantaranya Zahrulbasaatin fibayaaniddalaail wal baroohin. Tamrinulazhan al-`ajmiyah fii maârifati tirof minal alfadzilarobiyah. Miftahulfauzilabadi fiâilmil fiqhil Muhammadiyi. Tuhfaturrohman fibayaniakhlaqi bani akhirzaman. Sabiluttaqlid. Sirojul Mubtadi. Fadhlurrahman. Arrisaalah balaghah al-Betawi asiirudzunuub wa ahqaral isaawi wal `ibaad.
5Ulama Betawi Penjaga Akidah Umat di Zaman Belanda, Nomor 1 Buyutnya Ustadz Yusuf Mansur. 2. Guru Marzuki dari Cipinang Muara. Ulama kelahiran Rawa Bangke (sekarang Rawa Bunga), Jatinegara, Jakarta Timur pada 23 September 1877 ini bernama lengkap Ahmad Marzuqi bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Khotib Saâad bin Ahmad Al-Fathani.
Jakarta, NU Online Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi, atau dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang 20 April 1870-13 Oktober 1968 diusulkan PWNU DKI Jakarta menjadi Pahlawan Kemerdekaan. Pengusulan gelar ini datang dari dorongan masyarakat, khususnya masyarakat DKI Jakarta karena kiprah dan perjuangannya yang dinilai cukup besar di masanya, dan bahkan hingga kini perjuangannya masih dirasakan oleh kebanyakan masyarakat. "PWNU mengusulkan ini Bib kepada Al Walid Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi untuk diusulkan ke negara supaya bisa menjadi pahlawan kemerdekaan. Tapi semua itu harus izin keluarga. Kalau memang diperbolehkan, kami akan membuat surat ke Presiden, bahwa allahyarham Habib Ali supaya menjadi salah satu pahlawan kemerdekaan," kata Ketua PWNU DKI Kiai Samsul Ma'arif meminta izin kepada keluarga Habib Ali Kwitang di kediamannya, Jumat 4/9/2021. Habib Ali Kwitang adalah salah seorang tokoh penyiar agama Islam terdepan di Jakarta pada abad 20. Ia juga pendiri dan pimpinan pertama pengajian Majelis Taklim Kwitang yang merupakan satu cikal-bakal organisasi-organisasi keagaaman lainnya di Jakarta. Dalam pandangan PWNU DKI Jakarta, ada beberapa alasan yang memicu PWNU DKI berkeinginan Habib Ali Kwitang disematkan gelar Pahlawan Kemerdekaan. Di antaranya karena Habib Ali Kwitang ikut serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pada zamannya. "Habib Ali Kwitang kala itu yang menentukan hari dan waktu proklamasi kemerdekaan Indonesia," jelasnya. Pada kesempatan tersebut pihak keluarga mengingat kembali Habib Ali Kwitang yang sangat mencintai dan menghormati cucu pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Abdurrahman Wahid Gus Dur. "Gus Dur kata Walid Habib Ali Kwitang, seluruh Auliya'illah min Masyariqil Ardhi ilaa Maghoribiha, kenal dengan Gus Dur," kata salah satu pihak keluarga. NU dalam pandangan Habib Ali Kwitang Dikutip NU Online, Kolektor Arsip Habib Ali Kwitang, Anto Jibril mengatakan, Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi atau lebih dikenal Habib Ali Kwitang mendapatkan surat dari ulama-ulama di Jawa ketika Nahdlatul Ulama NU lahir pada 1926. Dia ditanya bagaimana sikapnya tentang NU. Habib Ali kemudian mengundang salah seorang muridnya, KH Ahmad Marzuki bin Mirshod, untuk menyelediki seluk-beluk NU. Habib Ali Kwitang, kata Anto, kemudian mengutus Kiai Marzuki untuk datang ke tempatnya Hadratussyekh Hasyim Asyâari untuk mencatat apapun yang dilihatnya di sana. Ketika sampai di sana, Kiai Marzuki kemudian meminta satu hal kepada Hadratussyekh Hasyim Asyâari. Yaitu agar jilbab yang dipakai perempuan NU dibenarkan. Jika itu dilakukan, Kiai Marzuki yakin NU akan bisa masuk ke tanah Batavia. Dia menuturkan, setahun kemudian Hadratussyekh Hasyim Asyâari dan KH Wahid Hasyim datang ke Batavia. Mereka ingin agar NU didirikan di sana. Ketika sampai di Batavia, orang yang pertama kali ditemui Hadratussyekh Hasyim Asyâari adalah Habib Ali Kwitang. "Setelah itu tahun 1928, NU dibentuk di Batavia. Habib Ali izinkan itu waktu. Lagi-lagi Habib Ali masih pegang fatwanya Habib Utsman bin Yahya. Jadi jangan dimasukkan namanya Habib Ali Kwitang di jajaran pengurus NU," kata Kolektor Arsip Habib Ali Kwitang Anto saat mengisi acara Kajian Manuskrip Ulama Nusantara di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta beberapa waktu lalu. Menurut Anto, semula orang-orang di Batavia kurang tertarik masuk NU karena tidak ada nama Habib Ali di sana. Kemudian Kiai Marzuki 'menegur' Habib Ali karena dulu dirinya lah yang meminta untuk mendirikan NU di Batavia, namun ternyata setelah berdiri Habib Ali malah tidak bersedia gabung. "Sampai pada akhirnya Habib Ali memproklamirkan dirinya jadi warga Nahdliyin. Ini jarang yang ungkapkan, padahal ini dipublikasikan di Koran-koran zaman dulu. Salah satu korannya berbahasa Belanda, koran Het Nieuws van den Dag terbit tanggal 20 Maret 1933," jelasnya. Anto menuturkan, Habib Ali Kwitang mendeklarasikan dirinya menjadi Nahdliyin pada 1933, atau setahun sebelum wafatnya Kiai Marzuki. Kemudian diadakan Kongres NU di daerah Kramat, Batavia. KH Abdul Wahab Chasbullah yang bertugas memimpin jalannya kongres tersebut. Setelah Habib Ali Kwitang mendeklarasikan diri menjadi Nahdliyin, ada sekitar 800 ulama yang saat itu siap masuk NU. "Dan kurang lebih seribu, disebutkan di koran itu, siap masuk pula menjadi warga Nahdlatul Ulama. Pertama Habib Salim bin Jindan," jelasnya. Di koran Belanda itu, lanjut Anto, pada saat itu Habib Salim bin Jindan mengkritik NU. Namun kemudian, Habib Ali Kwitang menenangkannya. Kemudian Habib Ali Kwitang mendeklarasikan dirinya sebagai Nahdliyin. Setelah mendengar pengakuan Habib Ali Kwitangâ, peserta yang hadir berdiri dan bertepuk tangan bersama. KH Abdullah Wahab Chasbullah juga senang dengan sikap yang ditunjukkan Habib Ali Kwitang tersebut. Kontributor Abdullah Faqihudin Ulwan Editor Kendi Setiawan
KiaiAs'ad pernah menjabat sebagai Wakil Ketua PBNU periode 2010-2015 dan Wakil Ketua Badan Intelijen Negara (BIN) 2000-2011. Di NU, Kiai As'ad banyak melakukan kaderisasi di level bawah dengan mendirikan Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU). Kiai Marzuki saat ini menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur.
As â Syaikh Ahmad Marzuki bin Mirsod Guru Marzuki Jakarta Minggu, 24 Februari 2019 , NU Toline Masyarakat Betawi biasa menyebutnya dengan Guru Marzuki, yang membedakannya dengan sebutan muallimâ dan ustazâ, meskipun sekarang dalam beberapa tulisan terkadang disebut dengan Kiai Marzuki. Guruâ adalah level tertinggi dalam derajat keulamaan di kalangan masyarakat Betawi atau Jakarta tempo dulu. Ia adalah seorang ulama Jakarta atau Betawi dari akhir abad ke-19 dan awal ke-20. Orang biasanya menyebutnya Guru Marzuqi Cipinang Muara walau di kitab-kitab yang dikarangnya ia menulis namanya dalam bahasa Arab Melayu tidak ada kata Cipinang, yaitu Guru Marzuqi Muara. Ada yang menulisnya dengan Marzuki, bukan Marzuqi. Saya terakhir kali berkunjung ke makamnya yang berada di Kompleks Masjid Jami Al-Marzuqiyah Cipinang Muara Senin, 1/12/2014, tertulis di poster silsilah namanya dengan tulisan Marzuki. Nama Lengkap Guru Marzuqi adalah As-syekh Ahmad Marzuqi bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Khotib Saâad bin Abdurrohman bin Sulthon yang diberikan gelar dengan âLaksmana Malayangâ dari salah seorang sultan tanah melayu yang berasal dari negeri Pattani, Thailand Selatan. Ibunya bernama Hajjah Fathimah binti Al-Haj Syihabuddin Maghrobi Al-Madura, berasal dari Madura dari keturunan Ishaq yang makamnya di kota Gresik Jawa Timur. Al-Marhum Haji Syihabuddin adalah salah seorang khotib di masjidf Al-Jamiâul Anwar Rawabangke Rawa Bunga Jatinegara Jakarta Timur. As-Syekh Ahmad Marzuqi dilahirkan pada malam Ahad waktu Isya tanggal 16 Romadhon 1293 H di Rawabangke Rawa Bunga Jatinegara Batavia Jakarta Timur. Usia 9 tahun ayahanda Al-Marhum berpulang ke Rohmatulloh dan diasuh oleh ibunda tercinta yang sholehah dan taqwa dalam suatu kehidupan rumah tangga yang sangat sederhana. Usia 12 tahun beliau diserahkan kepada sorang alim al-ustadz al-hajj Anwar Rohimahulloh untuk mendapat pendidikan dan pengajaran Al-qurâan dan berbagai disiplin ilmu agama Islam lainnya untuk bekal kehidupannya dimasa yang akan datang. Selanjutnya setelah berusia 16 tahun, untuk memperluas ilmu agamanya, maka ibundanya menyerahkan lagi kepada seorang alaim ulama al-allamah al-wali al-arifbillah dari silsilah dzurriyah khoyrul bariyyah SAW Sayyid âUtsman bin Muhammad Banahsan Rohimahullohu taâala. Melihat kejeniusan dan kekuatan hafalan dari Marzuki muda, pada usianya keenam belas tahun, Saayyid Utsman mengirimnya ke Makkah untuk belajar ilmu fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadits hingga mantiq. Kesempatan menuntut ilmu tersebut benar-benar dipergunakan dengan sebaik-baiknya, sehingga, dalam waktu hanya 7 tahun saja beliau telah mencapai segala apa yang dicita-citakannya, yakni menguasai ilmu agama untuk selanjutnya diamalkan, diajarkan serta dikembangkan. Guru-gurunya di Makkah diantaran adalah Syaikh Usman Serawak, Syaikh Muhammad Ali Al-Maliki, Syaikh Umar Bajunaid Al-Hadhrami, Syaikh Muhammad Amin Sayid Ahmad Ridwan, Syaikh Syaikh Hasbulloh Al-Mishro, Syaikh Umar Al-Sumbawi, Syaikh Mukhtar `Atharid, Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syaikh Mahfudz At-Tarmisi, Syaikh Sa`id Al-Yamani, Syaikh Abdul Karim Ad-Dagestani dan Syaikh Muhammad Umar Syatho. Dari gurunya yang lain, yaitu Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan Mufti Makkah, Guru Marzuqi memperoleh ijazah untuk menyebarkan Tarekat Al-Alawiyah, Setelah selama 7 tahun beliau mukim di Makkah, kemudian datang sepucuk surat dari Sayyid Utsman yang meminta agar Syaikh Ahmad Marzuqi dapat kembali ke Jakarta, maka pada tahun 1332 H atas pertimbangan dan persetujuan guru-gurunya di Makkah beliau kembali pulang ke Jakarta dengan tugas menggantikan Sayyid Utsman guru beliau dalam memberikan pendidikan dan pengajaran kepada murid-muridnya. Tugas yang diamanatkan ini dilaksanakan sebaik-baiknya hingga sampai sayyid Utsman berpulang ke Rohmatulloh. Guru Marzuki juga mempelajari tasawuf, dan memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat Alawiyyah dari Syaikh Muhammad Umar Syata, yang memperoleh silsilah tarekatnya dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan. Ia juga mendapatkan ijazah tarekat Khalwatiyah dari Syaikh Usman bin Hasan al-Dimyati. Tarekat Alawiyyah ini merupakan tarekat sufi tertua di Indonesia. Tarekat ini cukup populer di Hadramaut yang merupakan daerah asal para pendakwah yang membawanya ke Asia Tenggara. Di Indonesia, tarekat ini tidak mengenakan pakaian khusus, tidak pula menetapkan syaikh tertentu. Praktik yang dilakukan hanya berupa bacaan rawatib bacaan rutin sehabis salat wajib 5 waktu yang diwarisi secara turun temurun sejak Rasul Saw, dan sahabatnya. Para pemukanya juga tidak menetapkan syarat-syarat atau kaidah tertentu selain mendorong untuk selalu membaca rawatib dan wirid-wirid. Pada tahun 1340 H, ia melihat keadaan di Rawa Bangke Rawa Bunga sudah tidak memungkinkan lagi untuk mengembangkan agama Islam, karena lingkungannya yang sudah rusak. Ia segera mengambil suatu keputusan untuk berpindah ke kampung Muara. Disinilah ia mengajar dan mengarang kitab-kitab di samping memberikan bimbingan kepda masyarakat. Nama dan pengaruhnya semakin bertambah besar, karena bimbingannya banyak orang-orang kampung memeluk agama Islam dan kembali ke jalan yang diridhoi Allah SWT. Tak hanya itu, para santri dan pelajar banyak berdatangan dari pelosok penjuru untuk menimba ilmu kepada beliau. Sehingga tepat kalau akhirnya kampong tersebut dijuluki âKampung Muaraâ, karena disanalah muaranya orang-orang yang menuntut ilmu. Pada pagi hari jumâat jam WIB tanggal 25 Rajab 1352 H, Guru Marzuki wafat. Jenazahnya dikebumikan sesudah sholat Ashar yang dihadiri oleh para ulama dari berbagai lapisan masyarakat, yang jumlahnya amat banyak sehingga belum terjadi saat-saat sebelumnya. Acara sholat jenazahnya diimami oleh Sayyid Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Habib Ali Kwitang. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama NU memberikan penghargaan kepadanya karena telah ikut mendirikan NU di Batavia/ Jakarta pada tahun 1928 dan ia juga menjadi Rais Syuriahnya hingga wafat. Salah seorang cucunya, KH. Umairah Baqir anak dari KH Muhammad Baqir menikah dengan adik kandung seorang tokoh NU terkenal, KH. Idham Chalid . Adapun kitab-kitab yang dikarangnya ada 13 buah, yang dapat dilihat sekarang hanya 8 buah, berisi tentang fiqih, akhlak, akidah, yaitu Zahrulbasaatin fibayaaniddalaail wal al-`ajmiyah fii maârifati tirof minal alfadzilarobiyah. Miftahulfauzilabadi fiâilmil fiqhil fibayaniakhlaqi bani balaghah al-Betawi asiirudzunuub wa ahqaral isaawi wal `ibaad. Guru Marzuqi dijuluki sebagai âGurunya Ulama Betawiâ, dalam pengertian, dari murid-murid yang didiknya banyak yang menjadi ulama Betawi terkemuka, di dalam satu keterangan ada sekitar empat puluh satu ulama Betawi terkemuka. Di antaranya adalah Mu`allim Thabrani Paseban kakek dari KH. Maulana Kamal Yusuf, KH. Abdullah Syafi`i pendiri perguruan Asy-Syafi`iyyah, KH. Thohir Rohili pendiri perguruan Ath-Thahiriyyah, KH. Noer Alie Pahlawan Nasional, pendiri perguruan At-Taqwa, Bekasi, KH. Achmad Mursyidi pendiri perguruan Al-Falah, KH. Hasbiyallah pendiri perguruan Al-Wathoniyah, KH. Ahmad Zayadi Muhajir pendiri perguruan Az-Ziyadah, Guru Asmat Cakung, Pendiri Yayasan Perguruan Islam Almamur/Yapima, Bekasi, KH. Muchtar Thabrani Pendiri YPI Annuur, Bekasi, KH. Chalid Damat pendiri perguruan Al-Khalidiyah, dan KH. Ali Syibromalisi pendiri perguruan Darussaâadah dan mantan ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan-Jakarta
HabibAli Kwitang ternyata pernah mendeklarasikan diri sebagai Nahdliyin. Bagaimana kejadiannya?
Dalamkesempatan itu sebenarnya Habib Munzir dalam kondisi kurang sehat dan soal undangan Tabligh Akbar sebetulnya bisa diamanatkan pada utusan atau dikirim via pos. Tapi demi taâdzim pada Ayahanda Mbah Idris, demikian Habib Munzir biasa memanggil Al-Marhum Romo Yai Idris Marzuqi, maka dari Jakarta beliau memaksakan diri melakukan perjalanan darat
KH Noer Alie lahir sebagai anak keempat dari sepuluh bersaudara pasangan H. Anwar bin H. Layu dan Hj. Maimunah binti Tarbin pada tahun 1914 di Desa Ujung Malang, Onderdistrik Babelan, Distrik Bekasi, Regentschap ( Kabupaten ) Meester Cornelis, Residensi Batavia, sebelum diganti menjadi Desa Ujung Harapan Bahagia, Kecamatan Babelan,
KetikaWan Syaikhon Memberi Tongkat untuk KH Marzuki Mustamar 17 Oktober 2021 14:42 Diperbarui: 17 Oktober 2021 14:51 682 3. Wan Syaikhon atau Habib Syaikhon bin Musthofa Al-Bahar adalah adalah salah satu Durriyah Rasulullah SAW yang menjadi paku bumi Indonesia. Semua mengenalnya, dan mengormatinya. Semua ingin bersalaman dengannya
LaluHabib Ali Kwitang ditanya bagaimana sikapnya tentang NU. Habib Ali Kwitang kemudian mengundang salah seorang muridnya, KH Ahmad Marzuki bin Mirshod, untuk menyelediki seluk-beluk NU. Habib Ali Kwitang, terang Anto, lalu mengutus Kiai Marzuki untuk datang ke tempat Hadratussyekh Hasyim Asyâari untuk mencatat apapun yang dilihatnya di sana.
bvjQun. xrg7ioh6ba.pages.dev/489xrg7ioh6ba.pages.dev/458xrg7ioh6ba.pages.dev/95xrg7ioh6ba.pages.dev/320xrg7ioh6ba.pages.dev/281xrg7ioh6ba.pages.dev/356xrg7ioh6ba.pages.dev/281xrg7ioh6ba.pages.dev/453
kh marzuki bin mirshod